Bagi suami istri yang bekerja dan
memiliki anak kecil pasti pernah merasakan dilema dan kegalauan yang
mendalam,seperti saya dan suami. Terutama saya sebagai istri yang memang
kewajiban utama saya adalah bukan bekerja -mencari uang- , tetapi mengurus rumah
tangga. Tetapi, rasanya saya sendiri tidak betah jika harus di rumah, dan lagi
dari sejak pacaran terus menikah tidak ada pembahasan dengan suami nanti saya
harus di rumah/tidak bekerja. Rasanya senang bila saya bisa membelikan baju,
mainan si kecil dengan hasil kerja saya sendiri tanpa membebani suami.
Dari menikah, hamil, lalu melahirkan
sampai anak saya 1,5 tahun, saya dan suami masih tinggal di rumah mama.
Meskipun, sebenarnya kami sudah punya rumah sendiri, yang hanya kami kunjungi
ketika weekend. Alasannya karena si kecil masih butuh pengawasan ekstra, meski
diasuh ART ketika ditinggal, masih ada om dan eyangnya yang mengawasi. Jadi,
saya dan suami cukup tenang ketika bekerja. Sampai akhirnya kami memutuskan
untuk hidup mandiri di rumah kami.
Kegalauan itu pun datang. Bagaimana
dengan si kecil jika kami bekerja? Apakah harus dititipkan? Apakah perlu ART?
Lalu kami pun mulai melakukan survey TPA di sekitar rumah, dan berpesan kepada
tetangga jika ada tenaga pocokan yang bisa mengasuh anak. Ada beberapa
pertimbangan yang kami dapatkan:
1. Jika menggunakan ART di rumah, sekarang tidak
ada yang mengawasi, terlebih banyak berita negatif di TV mengenai pengasuh anak
di TV. Di TPA, jika pengasuh tidak jeli mengawasi anak satu per satu juga bisa
menimbulkan hal yang tidak diinginkan misal, anak jatuh atau bertengkar dengan
temannya. Setelah saya mengunjungi TPA di dekat rumah , saya belum juga sreg kalau si kecil harus dititipkan
disitu. Selain, karena sistemnya yang kurang menarik bagi anak-anak juga karena
tempatnya yang kurang steril untuk
anak menurut saya. Kotak P3K pun tidak tersedia. (Catatan: Tidak menutup
kemungkinan saya akan menitipkan si kecil disitu, bila sistemnya sudah baik,
kelebihannya adalah sangat dekat dengan rumah, bisa ditempuh dengan berjalan
kaki)
2. Dari cerita pengalaman ketika saya kecil dulu,
ketika saya kecil, mama saya senang karena ketika disuapin oleh ART selalu
habis bahkan nambah. Usut punya usut ternyata makanan saya itu disuapkan ke
anak tetangga, pantas saja cepat habis. Kasihan banget ya nasib saya?? Nah,
saya ga mau donk anak saya mengalami nasib sama kaya saya dulu. Nah, kalau di
TPA bisa saja si kecil jadi semangat makan karena liat temen-temennya pada
makan, atau malah jatah makannya dimakan juga sama temennya? Nah lo!!
3. Kalau sama ART, bisa jadi diajak nonton sinetron
mulu, ditinggal nelpon/sms-an, atau diajak gosip bareng ART sebelah rumah. Nah,
kalau di TPA, si kecil bisa bersosialisasi dengan temannya dan saling berbagi.
Nah, yang saya khawatirin kalau ada temennya yang lagi batuk/pilek, jadi
gampang tertular juga.
4. Biaya, kisaran tenaga pocokan di tempat tinggal
saya antara 500rb-600rb/bulan (jam 8 – jam 17, sabtu-minggu kadang ijin),
sedangkan biaya TPA 550rb/bulan (jam 8 – jam 17, sabtu setengah hari, minggu
libur, termasuk snack+makan siang). Saya rasa masalah biaya tidak ada masalah.
Nah, itu beberapa pertimbangan
yang mungkin dapat juga dipertimbangkan oleh emak2 dan bapak2 semua, yang
bekerja dan memiliki anak kecil, atau bahkan yang berencana menambah momongan. Makin
galau aja kan? Karena belum dapat informasi tentang tenaga pocokan, dan belum
cocok dengan TPA dekat rumah. Maka, saya dan suami memutuskan untuk menitipkan
si kecil sementara di TPA Labschool Unnes, meski jauh dari rumah (kebetulan suami
mendapat tugas tambahan sebagai KS di SD-nya). TPA Labschool Unnes ini baru
buka dan baru ada 2 anak yang dititipkan disitu, anak saya, Devandra (awal
masuk usianya 18 bulan), dan belakangan Aiko dari TK usianya sekitar 4 tahunan
lebih juga dititipkan.
Bagaimana hari-hari pertama Devandra masuk sekolah? Baca cerita berikutnya ya. ^_^
Bagaimana hari-hari pertama Devandra masuk sekolah? Baca cerita berikutnya ya. ^_^
0 komentar:
Posting Komentar